Jumat, 18 Februari 2011

PENGALAMAN TERKAIT DENGAN KEYAKINAN ISLAM

Hampir seluruh agama-agama besar di dunia memiliki pengalaman terlibat dalam konflik teologis sepanjang sejarahnya. Misalnya agama Islam yang sampai dekade ini masih belum menemukan kepercayaan antar sesama penganutnya untuk membangun kesepakatan kolektif menghentikan pertikaian. Dalam Islam, ketegangan masih berlanjut dengan diam-diam atau terang terangan hingga kini.
Disadari atau tidak, agama-agama besar atau faksi-faksi di dalamnya telah menyeret agama untuk bertahan hidup dalam suasana yang tidak wajar. Tafsir manusia telah menggantikan daulat Tuhan untuk menentukan yang benar dan yang salah, yang baik dan yang jahat, yang boleh dan yang terlarang, termasuk untuk menghukum mereka yang tidak mengakuinya dengan memerangi, membunuh dan menghancurkan. Pergeseran dari ajaran Tuhan yang terbuka menjadi ajaran yang tertutup di tangan “pemimpin” agama seringkali terjadi begitu halus dan tidak disadari. Yang kemudian terjadi adalah agama menjadi kendaraan untuk kepentingan yang bukan merupakan bagian dari misi awal ajaran agama tersebut. . Sejumlah “pemimpin” agama telah memunculkan faham keagamaan tertentu sebagai sebuah wacana yang tengah meminggirkan wacana-wacana lain, sehingga faham tersebut tidak sekadar merupakan faham keagamaan, namun juga merupakan kekuasaan.
Badai konflik teologis dalam sejarahnya umat Islâm tidaklah semata-mata berawal dari cara pandang keagamaan semata-mata, namun juga berawal dari ekspresi politik yang muncul pada dekade awal yang membelah umat dalam faksi-faksi. Ekspresi politik muslim dalam perkembangannya memuat kompetisi dan persaingan sampai dengan penafsiran simbol-simbol demi penguasaan atas institusi-institusi formal dan informal untuk mendukung penafsiran simbol dan kekuasaan. Gagasan-gagasan lain terus bermunculan yang disamping berbicara tentang pro kontra kekuasaan juga memunculkan pemikiran-pemikiran teologis baru. Secara bergantian aliran ini menjadi aliran resmi negara, tergantung pada kekuatan yang memenangkan perebutan kekuasaan.
Ini melainkan sekadar memotret pengalaman pada sebuah agama yang tak juga lepas dari persoalan ini, Islam. Pendekatan sejarah dan interpretasi sosiologis adalah pilihan metode yang digunakan untuk dapat mengungkap akar-akar konflik teologis.
Dasar yang kita ajukan adalah rasa perlu untuk membangun tatanan masyarakat dunia menjadi lebih baik. Padahal, keragaman sebenarnya adalah suatu fakta, sesuai dengan realitas sosial yang kita temukan. Sementara cita-cita penyeragaman dalam gagasan keagamaan kita dengan semangat ekslusifisme adalah pekerjaan menentang realitas sosial yang ada.
Kalau pun ada kompetisi, semestinya adalah kompetisi yang alamiah, dimana manusia memilih untuk “beragama” atas dasar pilihannya sendiri. Bukankah yang penting adalah penghayatan terhadap Tuhan yang dimunculkan dalam sikap hidup yang ilahiah, dimana agama adalah sesuatu yang pragmatis sebagai jalan meretas hubungan dengan Tuhan.
Namun gejala ke arah kesempitan pandangan dalam hal melihat perbedaan atau hubungan umat beragama masih terjadi, baik dalam skala kecil atau besar. Belum jelas, apakah hal ini berakar dari keimanan yang dangkal dan kematian akal intuitif serta nalar logis. Saya tidak berani mengambil kesimpulan bahwa kita saat ini mengalami problem yang serius dalam relasi umat beragama. Yang saya rasakan, kita memang memiliki problem itu, diakui atau diingkari. Tinggal sejauhmana keinginan untuk mengungkap dan menyelesaikannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar